Jakarta, kabarphi.com – Di tengah derasnya arus informasi ekonomi dan politik yang datang silih berganti, ada satu berita yang semakin menyeruak ke permukaan dan menimbulkan kekhawatiran besar bagi masa depan ekonomi Indonesia. Baru-baru ini, Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede, menyatakan bahwa deflasi pada bulan Agustus 2024 sebesar 0,03% secara bulanan (mtm), berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), bukan sekadar kabar biasa. Meskipun deflasi ini dipicu oleh penurunan harga pangan bergejolak (volatile food), isu ini menjadi semakin mengkhawatirkan karena berkaitan erat dengan tren penurunan jumlah kelas menengah akibat daya beli yang terus tergerus.
Data PMI (Purchasing Managers’ Index) Manufaktur Indonesia yang semakin terpuruk, dari 49,3 pada Juli menjadi 48,9 pada Agustus 2024, semakin menguatkan indikasi bahwa ekonomi nasional sedang menghadapi tantangan serius. Hal ini menunjukkan bahwa sektor manufaktur Indonesia berada dalam zona kontraksi, menambah kekhawatiran terhadap pertumbuhan ekonomi kuartal III-2024 yang diperkirakan akan berada di bawah 5%.
Namun, permasalahan ini tidak sekadar angka. Fenomena yang terjadi ini memperlihatkan kegagalan negara dalam mensejahterakan warganya, terutama kelas menengah yang menjadi tulang punggung ekonomi. Menurut data BPS, jumlah kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan signifikan dari 57,33 juta orang pada 2019 (21,45% dari total penduduk) menjadi hanya 47,85 juta orang pada 2024 (17,13%). Dengan kata lain, ada 9,48 juta orang yang turun kelas dalam kurun waktu lima tahun. Sebaliknya, jumlah kelas menengah yang rentan justru meningkat, dari 128,85 juta orang pada 2019 (48,20% dari total penduduk) menjadi 137,50 juta orang pada 2024 (49,22%). Ini menunjukkan bahwa ketidakstabilan ekonomi semakin memperbesar ketimpangan.
Ironi di Tengah Melimpahnya Sumber Daya Alam
Fenomena ini semakin menyakitkan ketika kita melihat fakta bahwa Indonesia adalah negara yang diberkahi dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Dari minyak dan gas bumi, batu bara, mineral, hingga hasil laut dan pertanian yang melimpah, seharusnya Indonesia memiliki potensi besar untuk mensejahterakan rakyatnya. Sayangnya, kenyataan berbicara lain. Alih-alih menjadi kekuatan ekonomi yang tangguh, Indonesia justru menunjukkan tanda-tanda ketergantungan pada struktur ekonomi yang didominasi oleh kapitalisme dan oligarki.
Sistem kapitalisme dan oligarki yang mencengkeram negara ini telah menciptakan ketimpangan yang luar biasa. Kekayaan alam yang seharusnya menjadi modal bagi kesejahteraan seluruh rakyat justru dikendalikan oleh segelintir elite yang memiliki akses terhadap kekuasaan dan modal. Mereka yang berada di puncak piramida sosial dan ekonomi menikmati keuntungan besar, sementara mayoritas rakyat termasuk kelas menengah dan rentan hanya bisa mengais sedikit dari kekayaan yang melimpah tersebut.
Faisal Basri, ekonom senior dari Institut for Development of Economics and Finance (INDEF), yang belum lama ini telah berpulang dan meninggalkan duka mendalam bagi kita semua. Pernah menyampaikan kritiknya terhadap negara bahwa “Di Indonesia, rakyat selalu salah,” ungkap Faisal dalam cuitannya di akun Twitternya, @FaisalBasri beberapa tahun lalu.
Meskipun cuitan itu diperuntukan pada penanganan Covid-19 oleh pemerintah, akan tetapi pemaknaannya hingga kini masih sangat relevan terutama pada situasi ekonomi masyarakat yang kian terpuruk. Hal ini pun dibenarkan oleh tulisan Abd Rohim Ghazali dalam Obituari yang mengenang sosok ekonom tersebut, ia menyampaikan bahwa Faisal Basri, dalam berbagai kesempatan, sering menekankan pentingnya reformasi ekonomi yang lebih adil dan inklusif, sesuai dengan semangat Pasal 33 UUD 1945.
Ia mengkritik struktur ekonomi Indonesia yang sering kali dikuasai oleh segelintir oligarki dan monopoli, yang bertentangan dengan semangat demokrasi ekonomi. Faisal kerap menyuarakan agar negara berperan aktif dalam memastikan kekayaan alam Indonesia dikelola untuk kesejahteraan rakyat, bukan dikuasai oleh elite tertentu.
Efek Samping Kapitalisme dan Oligarki
Sistem kapitalisme yang diterapkan di Indonesia dalam dekade terakhir telah melahirkan kesenjangan yang semakin tajam. Pertumbuhan ekonomi sering kali didorong oleh konsumsi kelas menengah atas dan investasi besar yang berfokus pada sektor yang menguntungkan bagi pemodal besar, seperti properti dan komoditas ekspor. Sementara itu, sektor-sektor yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan dasar rakyat, seperti pertanian, industri kecil, dan ekonomi kreatif, tidak mendapatkan perhatian yang memadai.
Lebih parah lagi, oligarki politik dan ekonomi memperkuat cengkeraman kekuasaan kelompok-kelompok tertentu yang memiliki kedekatan dengan penguasa. Kebijakan ekonomi yang dihasilkan sering kali tidak memihak kepada kepentingan rakyat banyak. Pengelolaan sumber daya alam pun tidak jarang terjadi melalui konsesi atau lisensi yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan besar dengan koneksi kuat ke pusat kekuasaan. Akibatnya, potensi keuntungan yang besar dari sumber daya ini tidak dinikmati oleh masyarakat luas, melainkan hanya segelintir orang.
Di tengah kemiskinan yang meningkat dan daya beli yang merosot, Kaesang, yang baru-baru ini semakin aktif di panggung politik dan bisnis, kerap terlihat memamerkan kehidupan glamor di media sosial. Sesi makan malam di restoran bintang lima, kunjungan ke resor eksklusif, dan koleksi kendaraan mewah seolah menjadi “konten harian” yang dinikmati oleh sebagian kecil kaum elite. Tidak berhenti di situ, sederet pejabat tinggi lainnya, dari menteri hingga petinggi partai, tampak berlomba-lomba mempertontonkan barang-barang mewah, mulai dari tas bermerk hingga jam tangan puluhan miliar, di tengah himpitan ekonomi yang dirasakan oleh mayoritas rakyat.
Apa yang lebih menyakitkan bagi rakyat adalah fakta bahwa kekayaan yang dipamerkan oleh para pejabat dan anak-anaknya ini sering kali tidak lepas dari bayang-bayang kedekatan dengan kekuasaan. Ely Kordinator Ideologi dan Kader Partai Hijau Indonesia (PHI) menyatakan bahwa saat kelas menengah semakin tergerus, justru mereka yang berada di lingkaran kekuasaan menikmati keuntungan dari sistem ekonomi yang berpihak pada segelintir elite. Kekayaan alam Indonesia yang seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan seluruh rakyat, ironisnya, lebih banyak mengalir ke tangan-tangan mereka yang dekat dengan kekuasaan.
“Nah ini yang muncul di sosial media ya, misalkan ada pernyataan semacam, terus emangnya kenapa kalau Erina dan Kaesang itu ke luar negeri, makan roti mahal? Toh itu uang mereka sendiri, mereka kaya. Nah ini masalahnya, mereka ini adalah keluarga Presiden yang mana ada hal-hal yang memang seharusnya jadi fokus mereka, berbeda dengan warga sipil biasa,” tuturnya. Minggu (08/09/24).
Menuju Keadilan Ekonomi yang Sejati
Disisi lain lanjut Ely menjelaskan bahwa di tengah kondisi yang semakin memprihatinkan ini, Indonesia membutuhkan perubahan mendasar dalam cara pandang terhadap pembangunan ekonomi. Ketergantungan pada model pertumbuhan yang hanya menguntungkan segelintir elite harus segera diakhiri. Pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang lebih inklusif, yang mampu memberdayakan seluruh lapisan masyarakat, terutama kelas menengah yang menjadi kunci stabilitas ekonomi dan sosial.
Negara harus hadir dengan kebijakan yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan, dimana hasil kekayaan alam dikelola untuk kesejahteraan rakyat banyak, bukan untuk kepentingan sekelompok kecil penguasa dan pemodal. Hal semacam inilah yang terus menjadi perbincangan dan cita-cita Partai Hijau Indonesia (PHI).
“Akar dari ekososialisme adalah keadilan sosial dan keadilan ekologis jadi jelas di sini, keadilan sosial dan keadilan ekologis saling berkelindan dan harus berjalan beriringan. Permasalahan-nya, dalam penindasan kapitalisme selalu melegitimasi eksploitasi secara destruktif sumber daya alam, dan untuk kepentingan segelintir orang, kelas elit korporat & pemerintah itu sendiri,” bebernya.
Ini bisa dimulai dengan reformasi kebijakan ekonomi yang lebih berpihak pada sektor-sektor yang memiliki dampak langsung terhadap kehidupan rakyat, seperti pertanian, industri kecil, dan UMKM.
Jika tidak, fenomena penurunan kelas menengah dan meningkatnya jumlah masyarakat yang rentan hanya akan semakin memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi yang ada. Dan Indonesia, yang seharusnya menjadi negara kaya dengan potensi sumber daya alam yang melimpah, akan terus tertatih-tatih dalam upaya untuk mensejahterakan seluruh rakyatnya.
“Kapitalisme itu selalu memisahkan hubungan manusia dengan alam itulah pada akhirnya Kenapa masyarakat adat kehilangan pangan, air bersih, perubahan kondisi sosial, kerusakan ekologis, ya kehilangan peradaban,” tutupnya. (*/Eve)