Jakarta — Pusaka Bentala Rakyat bersama Gecko Project dan penanggap dari BBC mengadakan acara berjudul ‘Membincang Situasi Papua Terkini’ di Kala di Kalijaga. Pembicara adalah Natasha (Pusaka Bentala Rakyat), Faisal Irfani (Gecko Project), dan Irham (BBC).
Hal yang disoroti dalam diskusi ini yaitu fenomena ketidakadilan ekstraktivisme, yaitu bagaimana akumulasi kapital di Papua justru membawa berbagai petaka bagi masyarakat di sana.
Natasha menyoroti aktor-aktor yang terlibat dalam PSN Merauke, yang terdiri dari beberapa proyek sekaligus, seperti proyek cetak sawah, pembukaan jalan, swasembada tebu, dsb. PSN ini dikelola oleh aktor-aktor negara maupun korporasi.
Situs yang dinyatakan sebagai lahan PSN ini tentu bukan lahan kosong. Lahan ini sebelumnya digunakan sebagai tempat berpenghidupan, mencari makan, hingga situs-situs sakral bagi masyarakat adat di sana.
Faisal menyoroti militerisasi dalam negoisasi pengamanan proyek lumbung pangan. Salah satunya dengan pengiriman lima batalyon terutama ke wilayah Papua bagian selatan. Sementara, Irham menceritakan upaya-upaya warga melindungi tanah, termasuk juga ketakutan untuk membicarakan keluhan dan kekhawatiran akan kehilangan tanah.
Dalam menghadapi fenomena ini, Natasha dan Irfan menyinggung peran media digital dan media sosial. Misalnya, pada di sekitaran PSN Merauke telah menavigasi dan mencari cara untuk melawan, salah satunya melalui publikasi bukti-bukti foto dan video. Mereka juga mencari tahu siapa-siapa personel militer dari unggahan yang bersangkutan di media sosial.
Natasha, yang juga anggota Partai Hijau Indonesia, mengatakan jika tendensi kolonial terhadap pengelolaan lahan di Papua bukan hal baru. Di tahun 1951-1953, aktor kolonial Belanda melakukan hal yang sama di Papua, sebelum dilanjutkan oleh proyek transmigrasi yang dijalankan oleh pemerintahan Soeharto.
Dalam diskusi, pernyataan Natasha ini disepakati Prof. Cahyo Pamungkas (BRIN), bahwa yang terjadi di Papua adalah kolonialisme. Tapi perlu diingat bahwa tidak semua orang Indonesia melakukan kolonialisme. Ia mengajukan tiga upaya yang bisa menjadi solusi. Pertama, mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat. Kedua, merancang peraturan daerah untuk melindungi tanah adat. Ketiga, melakukan kodifikasi hukum adat agar bisa menjadi peraturan kampung.
Diskusi bisa disimak di akun YouTube Pusraka Bentala Rakyat https://www.youtube.com/live/4nRkWA-O1Bs?si=9-AdwFoLbWHO_0nV