kabarphi.com – Bidang Perlindungan Kelompok Rentan dan Marginal bersama Sekolah Filsafat Jalanan, Perhimpunan Jiwa Sehat Blitar (Jawa Timur), dan Indonesian Young Greens menggelar webinar bertajuk “Mengupas Stigma ODGJ dalam Perpolitikan Indonesia” beberapa waktu lalu. Diskusi ini menghadirkan dua narasumber utama: Nurma Dian, Ketua Sub-Bidang Disabilitas dan Kesehatan Mental Partai Hijau Indonesia (PHI), serta Jesus Anam, pendiri Sekolah Filsafat Jalanan sekaligus Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Blitar. Acara dimoderatori oleh Nurul Qomariyah dari Indonesian Young Greens.
Dalam diskusi, para narasumber menekankan pentingnya mengakui hak Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) untuk berpolitik dan menentukan nasibnya sendiri. Nurma Dian menyoroti adanya hambatan serius dalam partisipasi politik, salah satunya tes kesehatan jiwa yang kerap mengeneralisir kondisi seseorang dan berujung diskriminasi.
Sementara itu, Jesus Anam memaparkan fakta-fakta ODGJ yang mampu bekerja, berkarya, dan berkontribusi di tengah masyarakat. Ia menegaskan bahwa stigma “tidak mampu berpikir” terhadap ODGJ harus segera dihapus.
Diskusi menegaskan perlunya peran negara untuk memberikan ruang, fasilitas, dan perlindungan yang lebih baik bagi ODGJ. Edukasi publik dan kampanye kesadaran dipandang penting agar masyarakat melihat kapasitas ODGJ, bukan sekadar kekurangan mereka.
Salah satu rekomendasi utama adalah menghapus sistem pengampuan yang selama ini meniadakan hak ODGJ untuk membuat keputusan dan menggantinya dengan konsep supported decision making. Dengan pendekatan ini, ODGJ tetap memegang hak menentukan pilihan hidupnya dengan dukungan jaringan yang mereka percaya.
Webinar ini juga menyinggung peristiwa “ibu berjilbab pink” yang belakangan menjadi simbol perlawanan rakyat. Sosok ini, yang muncul dalam aksi protes dan kemudian distigmatisasi sebagai “gangguan jiwa”, mencerminkan betapa rapuhnya demokrasi Indonesia hari ini. Alih-alih menjawab kritik rakyat, negara justru kerap membungkam suara perlawanan dengan stigmatisasi dan pelabelan negatif.
Para pembicara menekankan, peristiwa tersebut menjadi cermin nyata bagaimana demokrasi yang mestinya hidup kini berada di titik nadir. Ketika simbol-simbol perlawanan rakyat justru dilemahkan lewat stigma, maka perjuangan untuk mengakui hak-hak ODGJ sekaligus menjadi perjuangan yang lebih luas: melawan matinya demokrasi dan menuntut ruang publik yang sehat, inklusif, serta bebas dari diskriminasi.
Di akhir diskusi, para pihak sepakat mendorong pemerintah meningkatkan fasilitas dan layanan kesehatan jiwa, sekaligus membuka ruang partisipasi politik yang inklusif bagi ODGJ. Upaya ini bukan hanya soal perlindungan hak, tetapi juga jalan menuju peningkatan produktivitas dan kesejahteraan mereka sebagai bagian utuh dari bangsa.