“Indonesia Gelap” bukanlah deretan kalimat tanpa makna. Indonesia gelap adalah manifestasi kemuakan warga atas segala tindak – tanduk pemerintah yang mengakibatkan negara ini jatuh ke dalam sebuah krisis multidimensional. Disebut sebagai krisis multi-dimensi-onal karena negara ini sudah memenuhi segala macam prasyarat untuk menuju negara gagal.
Mulai ketidakstabilan ekonomi, proses penegakan hukum yang tidak adil, praktik korupsi , kolusi , nepotisme (KKN) yang merajalela di segala sektor, oligarki yang semakin menggurita, sampai hilangnya sensitivitasnya terhadap etika dan moralitas publik dari para pejabat negara. Hal ini yang kemudian membuat warga kembali mempertanyakan komitmen dari pemerintah terhadap demokrasi.
Namun, ditengah pertanyaan publik tentang komitmen tersebut semakin menggema di ruang publik, Pemerintahan Prabowo – Gibran justru menegaskan sikap untuk mematikan demokrasi dengan membiarkan tentara kembali masuk ke ranah publik yang seharusnya menjadi domain warga sipil bukan militer. Bukti dari ketegasan sikap ini bisa dilihat dari revisi Undang – undang TNI yang baru saja diputuskan.
Selain itu revisi undang – undang lainnya juga sedang menunggu seperti Undang – undang Kepolisian, Undang – undang penyiaran publik juga tidak luput dari kritik warga karena dicurigai akan semakin mempersempit peran warga sipil di ruang publik. Demokrasi telah mati, begitulah sebagian besar warga menyebutnya.
Deretan persoalan yang sebelumnya telah disebutkan membuat alasan untuk menghasilkan ulang demokrasi menjadi sangat masuk akal. Tetapi dari mana kita bisa memulainya? Apakah benar demokrasi telah mati ? Atau ada hal lain yang lebih fundamental dari demokrasi yang mati? Tulisan ini akan mencoba untuk menguraikannya.
Demokrasi Telah Mati
Sebelum kita memvonis, apakah demokrasi telah mati atau tidak ? Kita harus bertanya lebih dahulu, apakah Indonesia telah benar – benar masuk ke alam pikiran demokrasi ? Tidak bisa dipungkiri bahwa sejak masa revolusi, ketika para pendiri bangsa ini berdebat di sidang BPUPKI ( Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tentang apa fondasi utama menjalankan sistem pemerintahan di negara baru ini, mereka dengan tegas memutuskan demokrasi. Demokrasi dipilih dengan harapan negara baru ini dikelola dengan fondasi kedaulatan rakyat.
Zaman bergerak. Soekarno naik ke tampuk kekuasaan. Indonesia tetap memakai demokrasi sebagai cara mengelola negara. Tetapi demokrasi yang dimaksud di masa ini bukanlah demokrasi yang sama dengan hasil pembahasan sidang BPUPKI. Demokrasi di masa ini disebut sebagai demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin bukanlah demokrasi yang berarti kedaulatan rakyat. Tetapi, demokrasi yang dikendalikan oleh Presiden.
Era berikutnya Indonesia masuk ke masa orde baru dibawah pimpinan Soeharto. Pada masa ini demokrasi tidak ada. Sebab, kekuasaan menampilkan wajah fasisme dan memberangus kebebasan. Media dibungkam bahkan yang paling memprihatinkan adalah kekuasaan melakukan berbagai macam tindakan represif untuk membungkam warga negara yang mencoba untuk menyampaikan protes atas keadaan yang sedang berlangsung.
Sejatinya, berbagai hal yang dilakukan oleh kekuasaan ini adalah upaya untuk melakukan depolitisasi warga. Namun, kendati demikian, perlu diingat bahwa pada masa ini pemilu ada dan terselenggara hanya saja proses dan hasilnya ditentukan oleh penguasa.
Soeharto tumbang setelah 32 tahun berkuasa. Warga menumbangkannya dengan satu teriakan yang solid yaitu Reformasi! Reformasi merupakan narasi yang dilontarkan warga untuk menegaskan bahwa Indonesia telah meninggalkan era fasisme yang otoriter masuk ke era demokrasi.
Masuknya negara ini ke era demokrasi ditandai dengan adanya euforia kebebasan, terselenggaranya pemilu yang demokratis, berdirinya institusi – institusi demokrasi, adanya pembagian kekuasaan eksekutif , legislatif, dan yudikatif, sampai terselenggaranya otonomi daerah.
Namun, yang menjadi aneh adalah walaupun bangsa ini telah melakukan serangkaian perubahan demi perubahan. Tetap saja banyak analis yang mengatakan negara ini sebagai negara dengan demokrasi cacat (flawed democracy). Negara dengan demokrasi cacat memang terlihat seperti sebuah institusi politik yang menjalankan demokrasi.
Tetapi negara dengan demokrasi cacat memiliki sejumlah masalah yang fundamental seperti rendahnya kebebasan pers, rendahnya partisipasi politik warga, budaya politik yang anti-kritik,serta kinerja pemerintah yang jauh dari kata optimal.
Melalui uraian sebelumnya jelas terlihat bahwa Indonesia tidak pernah menyelenggarakan demokrasi yang sejati. Demokrasi Indonesia adalah demokrasi simbolik belaka, sebab hal – hal yang esensial di dalam demokrasi belum diselenggarakan oleh negara ini.Bahkan bisa dikatakan bahwa demokrasi yang diselenggarakan Indonesia selama ini adalah “pseudo demokrasi.”
Pseudo Demokrasi dan Politik
Berlangsungnya “pseudo demokrasi” di Indonesia adalah persoalan hilir. Sedangkan, hulu dari persoalan ini adalah kesalahan cara pandang sebagian besar warga terhadap konsep demokrasi, hancurnya makna politik serta tidak terselenggaranya pendidikan politik untuk warga.
Kita sebagai sesama warga cenderung melupakan bahwa selama rezim orde baru warga telah mengalami proses depolitisasi. Depolitisasi adalah sebuah proses penghilangan kesadaran politik dan keterlibatan warga di dalam negara. Warga dibuat atau bahkan dipaksa untuk selalu patuh terhadap pemerintah. Keadaan seperti ini berlangsung cukup lama, sampai – sampai warga kehilangan kepercayaan dirinya sebagai warga. Dan, menganggap dirinya hanya kawula dari pemerintah.
Belum selesai dengan persoalan depolitisasi. Warga juga dikepung oleh para “demagog politik” yang menguasai panggung demokrasi. Lalu, keadaaan ini semakin diperparah dengan partai politik yang gagal menjalankan fungsinya sebagai alat untuk menyelenggarakan pendidikan politik. Partai – partai justru berubah menjadi perusahaan yang hanya berorientasi kepada keuntungan semata. Oleh sebab itu, kita tidak perlu heran melihat kualitas para politisi saat ini.
Deretan persoalan yang telah diuraikan sebelumnya yang melahirkan sikap “apolitis – hedonistik” warga. Sikap ini adalah sebuah sikap yang muncul karena rasa kecewa yang berulang – ulang terhadap realitas politik yang sedang berlangsung. Kekecewaan itu pula yang membuat warga memutuskan untuk tidak peduli terhadap politik dan hanya peduli kepada kesenangan diri sendiri. Sialnya, sikap ini yang dimanfaatkan oleh para “demagog politik” untuk mendapatkan kekuasaan.
Begitulah realitas sosial – politik di negara ini sejak orde baru sampai reformasi tiba. Kekacauan ini semakin rumit karena sebagian besar warga keliru dalam memahami konsep demokrasi. Demokrasi adalah alat yang digunakan untuk menyelenggarakan sirkulasi kekuasaan. Sebab demokrasi hanyalah alat maka demokrasi tidak mempunyai sistem nilai dan etika apapun di dalamnya.
Hal inilah yang kemudian membuat demokrasi tidak membatasi siapapun atau apapun yang ingin mengisinya.Inilah yang membuat demokrasi sering disebut sebagai penanda kosong (empty signifer) yang bisa diisi oleh apapun atau siapapun( Mouffe,1985, seperti dikutip oleh Robet,2021).
Melalui hal ini bisa dikatakan bahwa sinisme kita yang mengatakan bahwa demokrasi telah dibajak oleh oligarki dan elite politik tertentu harus kita tinjau kembali.Hal itu karena letak persoalannya bukan pada demokrasi melainkan pada esensi dari demokrasi yaitu politik.
“Politik” dan Politik
Betapa tragis nasib warga Indonesia sudah mengalami proses depolitisasi lalu masuk ke era reformasi dan menikmati demokrasi tetapi tetap mengalami proses depolitisasi. Warga tidak pernah berkenalan dengan politik yang sejati. Warga hanya berkenalan dengan residu dari ketidakmampuan para politisi untuk memperkenalkan politik yang sejati. Negeri ini pernah menampilkan politik yang sejati pada masa awal perjuangan melawan penjajah.Tetapi sialnya, itu hanya terjadi di masa itu.
Suka atau tidak pemahaman warga terhadap politik itu sempit. Sedangkan, pemaknaan warga terhadap politik telah hancur. Saat ini warga memaknai politik sebagai sesuatu hal yang menjijikkan karena dipenuhi dengan intrik, kepalsuan bahkan kekerasan.
Selain itu politik juga dimaknai hanya sebagai cara untuk mendapatkan kekuasaan semata – mata. Sedangkan, pemahaman sebagian besar warga terhadap politik itu hanya berkutat pada jabatan – jabatan di institusi negara atau partai – partai.
Uraian di atas memberi semacam penanda bahwa warga memaknai dan memahami politik sebagai siapa mendapat apa, bagaimana dia mendapatkannya dan kapan dia mendapatkannya. Singkatnya, politik merupakan sesuatu yang bebas nilai dan etika. Benarkah demikian? Pada mulanya politik merupakan upaya setiap warga untuk menghasilkan keadilan guna mencapai kebahagiaan bersama.
Secara lebih terperinci Aristoteles (350- 322 SM) menggunakan konsep “zoon politikon” untuk menjelaskan bahwa manusia secara alamiah sudah merupakan makhluk politik. Secara etimologis “zoon” berarti binatang dan “politikon” yang berarti politik. Konsep ini sejatinya ingin menjelaskan bahwa pada dasarnya “genus” manusia dan binatang itu sama. Tetapi, perbedaan binatang yang hanya menggunakan instingnya dengan manusia adalah kemampuan berpolitik.
Maksudnya, manusia adalah makhluk yang secara alami bisa hidup berkomunitas dan memiliki kemampuan untuk berbicara, berpikir dan membuat keputusan. Sedangkan, binatang tidak mempunyai kemampuan tersebut. Singkatnya, manusia berpolitik untuk mengoptimalkan kapasitasnya di dalam kehidupan berkomunitas melalui tindakan – tindakannya untuk menghasilkan keadilan guna mencapai kebahagiaan bersama.
Uraian sebelumnya jelas menggambarkan beberapa hal: Pertama, politik bukan sesuatu yang dapat dipisahkan dari manusia. Kedua, Politik adalah sesuatu yang sudah ada di dalam diri manusia. Ketiga, politik bukan hanya alat untuk mendapatkan kekuasaan semata. Politik adalah alat yang digunakan oleh manusia untuk untuk menghasilkan keadilan. Keempat, keadilan dihasilkan oleh tindakan politik warga semata – mata dimaksudkan untuk kebahagiaan bersama.
Pionir Pemurnian Politik
Jika seseorang benar – benar berhasrat ingin mencapai keagungan abadi, ia seharusnya meminta Tuhan membolehkannya hidup ditengah suatu kota yang korup agar punya kesempatan untuk merombaknya.” Ucap Machiavelli untuk menegaskan betapa keagungan seorang warga bukan terletak kekuasaan yang ia miliki tetapi pada keterlibatannya untuk menumbuhkan keadilan.
Gelombang aksi “Indonesia Gelap” yang terselenggara di berbagai penjuru negeri ini dengan berbagai macam bentuknya adalah manifestasi dari keterlibatan warga untuk menghasilkan ulang keadilan. Gelombang aksi ini harus terus dilanjutkan mengingat bangsa ini belajar dari peristiwa yang sudah – sedang berlangsung.
Tetapi, kendati demikian, gelombang aksi ini juga harus diiringi dengan tujuan yang jelas dan terukur. Kita harus mulai memikirkan gambar besar dari persoalan yang sedang dihadapi oleh bangsa ini. Jika kita mencoba untuk merefleksikan tentang persoalan fundamental tersebut maka kita akan menemukan bahwa persoalan itu adalah sikap apolitis – hedonistik yang sudah mengakar kuat di alam bawah sadar sebagian besar warga.
Persoalan fundamental ini hanya bisa dihadapi jika kita sebagai sesama warga yang sadar menjadi pionir yang mampu untuk membangun kesadaran politik warga lainnya yang masih terjebak di dalam sikap apolitis – hedonistik. Tentunya, untuk melakukan hal ini diperlukan semacam solidaritas antara sesama warga dari tingkat desa sampai ke tingkat nasional.
Ketika proses ini dilakukan harapannya setiap warga bisa memahami mengapa mereka harus mengerti apa itu politik dan betapa pentingnya memahami politik.Memahami politik sama dengan membuat warga sadar bahwa dirinya adalah warga. Kesadaran ini akan membuat warga mengerti hak – haknya sebagai warga.
Selain itu pemahaman politik akan membuat warga sadar bahwa dirinya itu otonom dari negara. Maksudnya, warga bukan objek pasif yang bisa dikendalikan oleh negara dengan seenaknya. Tetapi, warga adalah subjek aktif yang ikut terlibat di dalam proses berjalannya negara.
Mencari Sistem Filsafat Politik sebagai jalan Menuju Indonesia Baru
Setelah warga mengerti politik dan betapa pentingnya memahami politik. Kita bisa masuk ke tahap berikutnya yaitu mencari sistem filsafat politik yang kompatibel untuk bangsa ini. Hari ini berbagai macam konsep pemikiran di dalam tradisi filsafat politik muncul ke permukaan.
Konsep – konsep seperti republikanisme, ekososialisme, sosialisme, islamisme sampai anarkisme menghiasi forum – forum diskusi pasca aksi. Ini tentu adalah pertanda baik sebab kita memang perlu untuk mendiskusikan berbagai konsep pemikiran ini secara lebih serius. Hal itu karena konsep – konsep ini diperlukan sebagai fondasi dari kultur politik baru yang sedang – akan lahir.
Sistem filsafat politik itu mutlak diperlukan karena akan menentukan arah dan tujuan bangsa ini. Alasan lain mengapa hal ini mutlak diperlukan karena kita tidak ingin Indonesia yang sama seperti saat ini.
Indonesia saat ini adalah negara yang tidak punya arah dan tujuan yang jelas. Mungkin, diantara kita ada yang bertanya, apakah Indonesia sejak awal tidak mempunyai sistem filsafat politik ? Tentu saja jawabannya: Tidak ! Indonesia mempunyai sistem filsafat politik hanya saja para stakeholder di negara ini buta terhadap sistem tersebut.
Mari saya jelaskan dimana letak kebutaannya. Indonesia adalah negara yang berbentuk republik. Sudah menjadi keharusan negara ini dikelola dengan fondasi pemikiran republikanisme. Republik adalah suatu komunitas politik yang diorganisir oleh pemerintahan yang menomorsatukan kepentingan publik. Sedangkan, republikanisme adalah prinsip atau teori mengenai pemerintahan republik.
Ada beberapa ciri umum dari negara yang berbentuk republik dan dikelola dengan fondasi pemikiran republikanisme seperti menomorsatukan politik untuk menghasilkan keadilan guna mencapai kebahagian bersama, membedakan antara res publika (ruang publik) dan res privata (ruang privat) , anti terhadap despotisme dan korupsi, menomorsatukan dialog, adanya kebebasan warga untuk terlibat di dalam proses berjalannya negara , menomorsatukan kedaulatan warga , konstitusionalisme dan menomorsatukan pendidikan (Robet, 2021).
Kira – kira dari ciri umum yang sudah disebutkan sebelumnya, apakah ada satu dari sekian ciri tersebut tercermin dari proses pemerintahan yang diselenggarakan saat ini? Sepertinya, jawabannya; Tidak!
Maka, mendiskusikan sistem filsafat politik ini menjadi sangat penting agar kita bisa menciptakan kultur politik baru untuk Indonesia baru yang sedang – akan lahir.
Terakhir, melalui uraian panjang di atas, saya ingin menegaskan bahwa ada dua tugas penting yang harus kita lakukan yaitu memberikan pendidikan politik untuk warga dan mencari sistem filsafat politik yang kompatibel untuk bangsa ini. Sembari kita terus melanjutkan demonstrasi di berbagai penjuru negeri ini. Semoga Tuhan memberkati perjuangan kita untuk melakukan revolusi di negara yang sedang sakit parah ini. Res publica – Res populi !
Ditulis oleh: Miftah RH. Anggota Partai Hijau Indonesia