kabarphi.com – Rencana penetapan 119.779 hektar Pegunungan Meratus sebagai Taman Nasional menuai kritik keras dari Partai Hijau Indonesia (PHI), WALHI Kalimantan Selatan, dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalsel. Kritik tersebut mengemuka dalam diskusi publik bertajuk “Menggugat Status Taman Nasional: Politik Pengelolaan Hutan dan Masyarakat Adat” yang digelar secara daring pada Sabtu (13/9/2025).
WALHI Kalsel melalui Raden Rafiq Sepdian Fadel Wibisono menilai, paradigma konservasi negara yang top-down cenderung menyingkirkan masyarakat adat. Ia mengingatkan, ancaman utama Meratus bukan dari praktik ladang masyarakat, melainkan tambang batubara, sawit, dan proyek infrastruktur. “Perlindungan sejati bukan dengan memasung masyarakat adat, tetapi dengan pengakuan hutan adat dan tata kelola berbasis komunitas,” ujarnya.
Raden juga menegaskan posisi WALHI Kalsel menentang penggunaan dalil konservasi untuk mensahkan perampasan lingkungan hidup. ia menekankan pentingnya mengkonservasi budaya dan kearifan masyarakat adat yang tidak bisa dipisahkan dari keberlangsungan hidup mereka di tanah adat.
Sementara itu Okta yang menggantikan Rubi dari AMAN Kalsel, menegaskan posisi politik masyarakat adat yang selama ini dipinggirkan dalam kebijakan konservasi. Ia menyebut, model taman nasional yang dipaksakan justru mengancam eksistensi dan ruang hidup masyarakat adat. “Masyarakat adat menolak paradigma konservasi yang asing dan menuntut pengesahan RUU Masyarakat Adat sebagai payung perlindungan,” tegasnya.
Disisi lain, PHI melalui Mira Widya Saragih mengingatkan bahwa status taman nasional sering dijadikan alat legitimasi politik, bukan benar-benar untuk melindungi ekosistem.
Mira menyorot politik penguasaan ruang di balik perencanaan taman nasional yang ada. Penyalahgunaan prinsip hijau demi kepentingan segelintir inilah yang makin menggarisbawahi pentingnya memahami dan mendasarkan aksi pada perspektif hijau yang sesungguhnya.
“Perlindungan hutan tidak cukup dengan label taman nasional, melainkan dengan pengakuan hukum adat, moratorium izin tambang, dan penguatan hutan adat dalam hukum formal,” jelasnya
Diskusi yang diikuti puluhan pegiat lingkungan dan masyarakat sipil ini menegaskan perlunya transformasi politik hijau. Forum juga berkomitmen untuk mengawal pengesahan RUU Masyarakat Adat dan memperkuat konsolidasi gerakan masyarakat sipil demi kedaulatan ekologis di Kalimantan Selatan.
Reporter: Gabriela Lika Inga
Editor: Erwin F Syuhada