Dalam beberapa bulan terakhir, aktivis, akademisi, dan wartawan telah menyoroti aspek lingkungan dari pembataian Israel di Palestina. Seringkali, fenomena ini dibingkai dalam istilah ‘ekosida’, organisasi seperti Forensic Architecture berhasil menunjukan kerusakan lingkungan bukan hanya sebatas ‘dampak tidak langsung’ dari serangan militer Israel, melainkan kerusakan lingkungan adalah salah satu misi utama dan target dari serangan militer. Dalam skala yang berbeda, peneliti juga mengkalkulasi emisi karbon dari 60 hari pertama genosida yang hingga kini masih berlangsung, sehingga kian menunjukan hubungan antara militerisme dan ketidakadilan lingkungan.
Mengubah perspektif tersebut sangatlah penting untuk membangun argumentasi melawan kekejian yang dilakukan Israel di Gaza. Memang, strategi Israel dalam menghancurkan lingkungan hidup seperti area persawahan dan infrastruktur bangunan bukanlah hal baru. Strategi tersebut merupakan salah satu karakteristik pendudukan colonial sejak negara Zionis didirikan. Lebih dari sekedar penghancuran lingkungan, Zionist telah menggunakan lingkungan sebagai alat untuk mengusir populasi asli Palestina. Untuk itu, ekosida dan pengendalian lingkungan adalah bagian dari agenda colonial untuk menceraikan penduduk asli Palestina dari tanahnya sendiri.
Landasan Ekologis Proyek Kolonial Zionist
Projek Zionist tidaklah unik dalam rangka memindahkan warga asli dari tanahnya, mengambilalih sumber daya dan mengatur ulang tata ruang demi kepentingan penduduk kulit putih. Metode seperti ini tercatat dalam sejarah Amerika Serikat, Australia, Afrika Selatan, Irlandia, dan berbagai tempat di dunia. Hal yang membedakan Israel dengan contoh yang telah disebutkan adalah penjajahan Israel berlangsung dan didirikan pada periode pasca-perang. Israel telah menunjukan keahliannya dalam mengadopsi diskursus terkini dan berbagai Teknik pengendalian untuk menormalisasi proyek penjajahan atas Palestina. Untuk mencapai itu, Israel juga mengembangkan Teknik eliminasi sebagai alat dalam mengendalikan ledakan populasi. Hal ini pun sejalan dengan cara Israel menggunakan lingkungan untuk menjalankan pendudukan Palestina.
Mitos pendirian negara Zionist terikat dengan dua slogan utama yang berbasis pada konsepsi penjajah dalam memandang lingkungan. Pertama, “tanah tanpa orang untuk orang tanpa tanah’, yang awalnya dipopulerkan oleh kelompok Zionist Kristen. Sejarawan Palestina seperti Edward Said, Rashid Khalidi, dan Nur Ad-Din Masalha memaknai slogan tersebut sebagai indikasi menolak negara Palestina dan klaim mereka atas tanah. Makna pasti atas slogan tersebut memang masih menjadi perdebatan antara apakah frase tersebut bermakna Zionist menganggap Palestina adalah tanah kosong atau siapa pun yang berada di Palestina itu tidak memiliki hak dan klaim atas tanah itu. Apapun makna yang dipilih, konsekuensinya tetap sama: untuk melepaskan Palestina dari tanahnya demi memberikan ruang untuk ‘orang-orang yang terpilih.’
Slogan kedua Zionist adalah ‘membuat gurun bersemi’, yang hingga saat ini sering dikutip sebagai pembenaran moral didirikannya negara Israel (beberapa waktu lalu oleh Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen). Sejarawan Brenna Bhandar mengatakan: ‘Di mata Zionist, pembangunan menjadi basis hukum dan moral untuk mengklaim tanah di Palestina.’ Klaim tersebut tentu saja tidak berbeda dengan intrik kolonialisme lainnya, seperti pertanian di Ulster hingga ekpansi di Amerika bagian barat, dimana pengambilalihan tanah dan penghapusan etnis dihalalkan atas nama ‘mengembangkan’ tanah agar dapat memiliki nilai produktif yang dapat dijual.
Sehingga sudah jelas bahwa konsepsi penjajah atas lingkungan termanifestasi melalui penghapusan sehabis-habisnya kepemilikan masyarakat asli atas tanah,, sawah, dan pengelolaan lingkungan – sebuah proses yang masih berjalan hingga saat ini. Mitos ini masih digunakan sebagai justifikasi ekspansi Israel atas tanah-tanah Palestina dan menyatu dengan pola orientalist dan rasisme anti-Palestina sebagaimana yang disebukan oleh Abu Laban dan Bakan dengan ‘racial gaslighting’
Tidak hanya dipaksa untuk pindah dan tidak memiliki hak legal untuk mengakses tanah mereka, penjajahan Israel juga mengubah bagaimana rakyat Palestina memahami dan mengingat tanah mereka sendiri. Mitos Zionist juga memberikan cara untuk membuat penduduk asli Palestina lupa akan tanah, topografi, beserta flora dan fauna melalui perusakan lingkungan seperti pengeringan Danau Hula dan kebakaran hutan yang disebabkan oleh spesies kehutanan non-asli di Galilee.
Pengusiran melalui Perusakan
Proyek colonial dalam penghapusan etnis dilakukan melalui perusakan terhadap lingkungan yang berjalan secara lambat dan disengaja, melalui pembuangan bahan kimia berbahaya, polusi pertanian, dan mengotori air di Palestina membuatnya tidak dapat ditinggali lagi. Dengan lingkungan yang buruk, maka tidak ada pilihan lain bagi warga Palestina untuk berpindah dari tanah yang mereka miliki. Penelitian yang dilakukan oleh ARIJ menunjukan setidaknya 80% dari air limbah yang digunakan oleh pendudukan illegal Israel dibuang ke tanah Palestina yang berakibat pada rusaknya tanah dikarenakan kadar kalsium, besi, dan kimia yang tinggi. Air limbah juga mengancurkan kebun zaitun, mengambat pertumbuhan vegetasi dan membuat dampak yang tidak dapat dikembalikan kepada pohon almond yang menjadi sumber pangan warga sekitar. Sehingga, pendudukan colonial menggunakan pengancuran lingkungan sebagai senjata dalam menghapus warga asli Palestina dari tanah mereka.
Selain itu, pengawasan rutin militer Israel terhadap pendudukan illegal secara rutin menghancurkan kebun zaitun di desa-desa Palestina. Dalam satu kasu di Desa Burin dekat Nablus, pendudukan Israel membakar lebih dari 100 pohon di 37 hektar tanah. Fenomena tersebut menunjukan bahwa serangan langsung terhadap lingkungan adalah bagian dari kebijakan penghapusan etnis yang diperhitungkan secara matang oleh Israel untuk memfasilitasi ekspansi territorial. Strategi penuh perhitungan dengan menargetkan kehancuran lingkungan menunjukan kebohongan slogan Zionist ‘membuat gurun bersemi’.
Kasus lainnya adalah Gunung Abu Ghneim di Yerusalem Timur. Sebelumnya, area tersebut merupakan wilayah hijau tertutup oleh akses publik sampai akhirnya digantikan oleh pemukiman Har Homa oleh Israel, yang saat ini diakui sebagai illegal oleh hukum interasional (seakan-akan okupasi colonial di Palestina memenuhi standar legalitas). Pemukiman ini dikobangun untuk menghancurkan ekspansi kota Palestina terdekat, Bethlehem dan menghancurkan wilayah terlindungi untuk mencapai kontrol etnis atas demografi dan spasial. Untuk mempertahankan pemukiman ini, sumber air di Palestina dialihkan ke area pemukiman Israel yang kemudian menyebabkan kekeringan dan penggurunan disekitar area ekspansi.
Image from Applied Research Institute – Jerusalem, available on Arij.org
Okupasi Berkedok Greenwashing
Seiring dengan meningkatnya kesadaran lingkungan global, Israel mulai menggunakan narasi lingkungan untuk melegitimasi proyek Zionist dan menghindari kritik atas ekspansi colonial. Sejak 1976-77, Israel mendirikan ‘patroli hijau’, kelompok paramiliter yang dibuat untuk mengusir populasi Bedouin di Israel Selatan dari tanah mereka dan memindahkannya ke pemukiman kota, termasuk Gaza. Alasan penggunaan patrol hijau, yang saat ini masih berlangsung, adalah perlunya konservasi ekosistem gurun; menggunakan retorika lingkungan untuk menyelesaikan ekspansi territorial dan pengendalian populasi.
Taman nasional atau zona hijau sudah sering dikatikan dengan perebutan lahan dari masyarakat asli Palestina, sebuah bentuk dari kolonialisme hijau. Israel telah membuat 70 taman nasional di sepanjang Tepi Barat, Yeruslem Timur, dan Datar Tinggi Golan. Termasuk diantaranya taman nasional yang didirikan di wilayah tanpa keunikan alam maupun arkeologis, kian menunjukan bahwa tujuan taman nasional tersebut adala mencegah pengembangan warga Palestina – baik untuk pertanian, perumahan, atau kebutuhan dasar. Hal ini membuat LSM Israel menganggap perampasan lahan ini sebagai ‘pemukiman hijau’.
Selain cara-cara ‘konservasi’, Israel juga menganggap dirinya sebagai inisiator teknologi hijau – Bahasa colonial yang sesuai untuk kasus ini. Laporan terbaru yang dipublikasikan oleh Kementerian Luar Negeri Israel dibuka dengan kutipan dari Testamen Lama ‘Aku akan membuat gurun menjadi kolam air, dan tanah kering bersemi oleh air.’ Kemudian dilanjutkan dengan uraian bagaimana keberhasilan teknologi desalinasi, daur ulang air, dan irigasi milik Israel berhasil menyelesaikan kelangkaan air, tidak hanya di Israel tetapi juga di dunia. Setidaknya 80% teknologi pertanian Israel dijual ke negara-negara di Uni Eropa, Asia, Amerika Tengah dan Selatan, serta Amerika Serikat.
Teknologi seperti irigasi tetes diperkenalkan sebagai cara ‘memberi makan dunia’, terutama ditengah perubahan iklim. Namun, sorotan terhadap inovasi dan kemajuan lingkungan Israel menutupi fakta bahwa tanah Palestna digunakan sebagai lokasi pengujian teknologi tersebut. Hal tersebut juga menutupi ‘keberhasilan’ Israel dalam pengelolaan air bergantung pada mengalihkan air dari pendudukan di Tepi Barat dan Jalur Gaza, serta dari Yordania. Menurut akademisi lingkungan Palestina Sharif S. Elmusa, Israel saat ini menggunakan 80% dari air tanah Plaestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Penjualan teknologi hijau tidak hanya menciptakan keuntungan bagi perusahaan asal Israel, tetapi juga mempromosikan diplomasi Israel dan hubungan internasional, terutama dengan negara-negara Arab, atau yang disebut dengan ‘eko-normalisasi’. Aspek utama dari ini adalah pengembangan energi hijau, dengan perusahaan Israel seperti Enlight Renewable Energy (ENLT) dan Newmed Energy mendapatkan proyek di Yordania, Moroko, Uni Emirat Arab, Mesir, Bahrain, Arab Saudi, dan Oman. Sementara itu, perusahaan energi dibidang teknologi air telah mengembangkan portofolio dan keahlian energi mereka di wilayah pendudukan illegal. Perusahaan dan Israel mendapat keuntungan, sementara warga Palestina tidak mendapat akses untuk mengembangkan kedaulatan energi, dan dipaksa harus bergantung pada pelayanan energi dari Israel yang tidak konsisten dan mahal. Ketidakadilan lingkungan termanifestasikan melalui pendudukan kolonialisme.
Contoh lainnya kampanye greenwashing Israel adalah Kampanye Brand Israel, yang diluncurkan pada tahun 2005 dalam meresponse aksi Boycott-Diverse-Sanction. Strategi hubungan masyarakat ditujukan untuk melawan kritik global terhadap okupasi Israel dengan cara membingkai ulang Israel sebagai ‘negara yang relevan dan moderen’, mewujudukan karakter cosmopolitan, progresif, demokratis sebagaimana di Barat ditengah negara-negara Arab yang dianggap Islamis, homofobik, dan represif. Salah satu aspek dari kampanye ini adalah mempromosikan Israel sebagai mercusuar kepemimpinan lingkungan, termasuk diantaranya gambar prajurit IOF menggunakan Sepatu vegan. Di tahun 2019, IOF mendeklarasikan diri sebagai tentara paling vegan di dunia.
Perebutan tanah dan keadilan lingkungan
Ekosida dan colonial lingkungan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya sebagai proyek rasis dalam rangka memisahkan warga asli Palestina dari tahan yang mereka miliki. Israel bisa saja menggunakan narasi-narasi konservasi – untuk menyelamatkan hidup (dari Palestina – di teritori tahun 1948, sementara melakukan omnicide – penghancuran seluruh kehidupan – di Gaza. Bangunan colonial tersebut dutjukan untuk menghapuskan etnis Palestina dan menarik Palestina dari tanah mereka, proses yang penting dalam proyek negara Zionist.
Mencapai keadilan lingkungan di Palestina hanya dapat dilalui dengan cara mengembalikan kembali warga asli Palestina dengan tanah mereka yang telah dicuri dari gerakan lingkungan Zionist. Konsepsi keadilan lingkungan ini tidak dapat dipisahkan dari persoalan mengenai tanah – retorasi tanah dan hak untuk kembali.
Selain itu, keadilan lingkungan di Palestina tidak hanya mengenai Palestina. Dalam pidatonya di COP 28 pada Desember lalu, Presiden Kolombia Gustavo Petro mengatakan ‘apa yang terjadi di Gaza saat ini adalah persiapan masa yang akan datang’. Dirinya merujuk pada fakta negara-negara barat mendukung aksi barbar dan genosida bangsa Palestina. Dia menambahkan nasib yang sama menunggu kepada mereka yang mencoba melarikan diri dari lingkungan yang tidak bisa dihidupi akibat krisis iklim. Dia bisa saja melanjutkan analogi tersebut untuk menyoroti bagaimana genosida yang dilakukan Israel, perlakuannya terhadap ledakan populasi asli Palestina berjalan beriringan dengan status yang Israel sebagai pemimpin dalam menghadapi krisis ekologi. Kontradiksi ini seharusnya tidak dialami oleh mereka yang menganggap dirinya peduli pada krisis iklim dan masa depan kolektif tentang masa depan bumi.
Aktivis lingkungan harus mengutuk colonial Israel sebagaimana mereka mengutuk ekosida yang tengah berjalan. Aktivis lingkungan harus mengakui bahwa imperialisme dan relasi industrial-militer adalah pendorong kehancuran lingkungan global, tidak hanya dalam bentuk dampak langsung emisi tetapi juga melalui pembatasan pembangunan nasional dan masyarakat asli yang terjadi di Negara Selatan. Tanpa solidaritas melawan pihak yang tertindas, aktivis lingkungan justru berpotensi dibajak oleh sistem yang mereka sendiri ingin hentikan.
Situasi ini nyata di Irlandia atau pun di berbagai tempat. Partai Hijau Irlandia saat ini tengah mendukung koalisi kanan-tengah pemerintah yang saat ini berbicara keras mengenai Palestina tetapi masih belum konkrit dalam meminta pertanggungjawaban Israel atas genosida yang terjadi. Sebagaimana yang disinggung oleh aktivis lokal solidaritas Palestina, ketika Menteri Perhubungan yang berasal dari Partai Hijau membebaskan transit pesawat tempur Amerika Serikat di Bandara Shannon, maka dia tidak hanya melibatkan Irlandia dalam genosida (dan gagal dalam menjalankan kewajiban negara sesuai dengan putusan ICJ Januari lalu), tetapi juga memberikan pelumas terhadap kekuatan terbesar dalam perusakan lingkungan dunia: militerisme Amerika Serikat.
Oleh Bana Abu Zuluf, Patrick Breshinan, dan Rory Rowan
Terjemahan oleh Miftah
Diterbitkan di Rundale