Jakarta – Moriska, kader Partai Hijau Indonesia, hadir mewakili partai dalam Pertemuan Strategis: Kondisi Pemilu dan Situasi Demokrasi yang diselenggarakan oleh Konde.co bersama British Embassy Jakarta di Jakarta Pusat. Kegiatan ini mempertemukan berbagai pihak seperti penyelenggara pemilu, jurnalis, media, lembaga swadaya masyarakat, hingga perwakilan partai politik, dalam upaya membahas pemilu yang lebih adil, setara, dan inklusif.
Acara ini merupakan bagian dari program Women’s Media Watchdog, yang selama beberapa bulan terakhir melakukan pemetaan situasi jurnalis perempuan, pelatihan liputan pemilu, dan kolaborasi dengan sejumlah media untuk meningkatkan perspektif gender dalam pemberitaan.
Dalam forum yang dilaksanakan pada kamis 8 mei 2025 tersebut, Konde.co memaparkan hasil temuannya, antara lain maraknya hoaks bermuatan SARA yang menyasar perempuan, LGBT, dan disabilitas selama pemilu, serta kekerasan yang dialami jurnalis perempuan, baik verbal, seksual, maupun tekanan redaksional. Masalah lainnya adalah masih rendahnya representasi perempuan dalam parlemen dan struktur pemerintahan, serta minimnya perhatian terhadap isu-isu perempuan dalam program 100 hari pemerintahan baru.
Moriska menegaskan komitmen Partai Hijau Indonesia untuk terus mendorong pengarusutamaan gender di ranah politik dan media. “Kami mendukung partai alternatif yang mendorong agenda perempuan melalui media arus utama, serta terus melakukan edukasi dan penguatan terhadap kader perempuan dan masyarakat,” ujarnya dalam sesi diskusi panel.
Sejumlah temuan penting juga disampaikan oleh peserta lain. KPU DKI Jakarta mengungkap lemahnya aturan afirmasi untuk caleg perempuan, Bawaslu mengakui belum adanya mekanisme pelaporan kekerasan seksual selama pemilu, sementara jurnalis dan organisasi masyarakat sipil mendorong perbaikan regulasi dan pendanaan untuk partisipasi politik perempuan.
Pertemuan ini menghasilkan serangkaian rekomendasi strategis untuk menciptakan pemilu yang lebih demokratis, inklusif, dan berkeadilan gender. Salah satunya adalah perlunya revisi undang-undang pemilu agar lebih berpihak pada kelompok marjinal, termasuk perempuan, serta mendorong media untuk memberikan ruang yang lebih besar bagi narasi dan suara perempuan dalam politik.