Editorial kabarphi.com – Enam puluh tahun telah berlalu sejak sejarah paling kelam bangsa ini: pembantaian massal dan genosida anti-komunis 1965–1966. Dalam tragedi itu, antara 500.000 hingga satu juta jiwa rakyat Indonesia dibunuh oleh negara dan milisi sipil atas nama “penumpasan PKI”, dengan restu dan bantuan politik maupun logistik dari kekuatan imperialis seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman.
Darah dan kebohongan dari genosida itulah yang menjadi fondasi bagi berdirinya kekuasaan Orde Baru sebuah rezim yang menukar akal sehat dengan ketakutan, menukar kebenaran dengan propaganda, dan menukar kemanusiaan dengan stabilitas semu.
Namun enam puluh tahun kemudian, pola pengkambinghitaman itu tak kunjung hilang. Negara mungkin berganti wajah, tapi wataknya sama: otoritarianisme yang takut pada rakyatnya sendiri.
Narasi “PKI bangkit” terus dijadikan alat politik untuk menakut-nakuti masyarakat dan membungkam oposisi. Kini, ketika bayangan komunisme tak lagi relevan dijadikan musuh imajiner, rezim menemukan kambing hitam baru: “anarko”.
Sejak aksi Hari Buruh 2018 di Yogyakarta hingga gelombang demonstrasi Agustus–September 2025, kita menyaksikan bagaimana aparat menggunakan stigmatisasi “anarko” dan “provokator” untuk membenarkan kekerasan terhadap rakyat.
Di Bandung, puluhan gas air mata ditembakkan ke dalam kampus dengan dalih “mengejar provokator”. Empat puluh dua orang ditangkap dan dicap sebagai “anarko”. Di Samarinda, polisi memajang molotov dan poster bergambar palu-arit sebagai “barang bukti penunggang demo”.
Logika yang sama, aroma ketakutan yang sama: setiap perlawanan rakyat dianggap ancaman terhadap kekuasaan, bukan panggilan keadilan.
Dalam banyak kasus, represi itu juga berlapis gender. Perempuan yang bersuara dikriminalisasi, dilecehkan secara verbal, bahkan dipermalukan di ruang publik. Kasus FL dan LFK hanya dua contoh dari banyak korban yang menanggung luka berlapis akibat ketidakadilan struktural dan kekerasan negara.
Pola penguasa yang mencari kambing hitam setiap kali rakyat marah adalah pola klasik fasisme. Mereka menciptakan musuh imajiner “PKI”, “anarko”, “antek asing”, “provokator” untuk mengalihkan perhatian dari sumber amarah sesungguhnya: ketimpangan ekonomi, korupsi kekuasaan, dan kegagalan sistem politik dalam memenuhi hak-hak rakyat.
Ketika rakyat menuntut keadilan, negara menjawab dengan gas air mata.
Ketika rakyat menanyakan kebenaran, negara menjawab dengan propaganda.
Ketika rakyat menolak lupa, negara menuduh mereka subversif.
Kambing hitam hanyalah alat untuk mempertahankan tatanan yang timpang tatanan di mana segelintir orang menguasai sumber daya dan menentukan nasib jutaan lainnya.
Komunisme dan anarkisme, seberapapun disalahpahami, memiliki benang merah: keduanya menolak sistem yang memusatkan kekayaan dan kekuasaan di tangan segelintir orang, dan menuntut keadilan sosial yang sejati. Justru karena itulah kelas penguasa baik di masa lalu maupun hari ini melihat gagasan-gagasan itu sebagai ancaman. Mereka takut, bukan karena gagasan itu salah, tapi karena gagasan itu benar-benar menyingkap kebusukan sistem yang mereka pertahankan.
Ketika rakyat mulai bertanya mengapa hidup semakin sulit di tengah pertumbuhan ekonomi yang katanya “baik-baik saja”, saat itulah negara panik. Dan kepanikan itu diwujudkan dalam kekerasan, penangkapan, dan stigmatisasi.
Enam puluh tahun setelah genosida 1965, negara masih gagal melaksanakan kewajiban dasarnya: membuka kebenaran sejarah, mengakui kejahatan kemanusiaan masa lalu, dan memberikan keadilan bagi para korban. Ironisnya, alih-alih menyembuhkan luka, negara justru terus melanggengkan pola kekerasan yang sama hanya berganti nama dan simbol.
Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang menutupi dosanya, melainkan bangsa yang berani mengakuinya. Bangsa yang demokratis bukanlah yang menuntut rakyat diam, melainkan yang mendengarkan suara paling kecil sekalipun.
Tugas kita sebagai rakyat bukanlah menunggu negara sadar, tapi merawat ingatan, membangun solidaritas, dan meneruskan perjuangan mereka yang dikriminalisasi karena berani melawan. Setiap narasi palsu akan runtuh oleh ingatan kolektif yang tak mau dibungkam.
Partai Hijau Indonesia berdiri bersama semua korban kriminalisasi, semua tahanan politik, dan semua kelompok yang dijadikan kambing hitam oleh kekuasaan.
Karena dalam sistem yang menindas, setiap orang yang memperjuangkan keadilan adalah “dalang” bagi perubahan.
Tidak ada seorang pun yang bebas sampai semuanya bebas.
Penulis : Rajendra (PHI)