kabarphi.com – Awal tahun 2025 tak datang dengan kabar baik. Di balik deretan angka dan grafik ekonomi yang turun, Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia merosot tajam mengguratkan kembali luka yang belum sempat sembuh sejak pandemi merenggut nafas banyak sektor. Namun sesungguhnya, angka itu bukan sekadar statistik. Ia adalah cermin retak dari kenyataan getir: sebuah tragedi yang diam-diam menimpa jutaan buruh yang hidupnya terjalin erat dengan denyut mesin-mesin pabrik yang kini mulai berhenti berdetak.
Krisis ini bukan datang dari ruang hampa. Ia adalah buah dari kebijakan ekonomi yang, atas nama efisiensi dan pertumbuhan, membuka pintu impor selebar langit, sembari perlahan menutup jendela harapan bagi industri lokal. Negara tak lagi menjadi pelindung rakyat, melainkan agen dari pasar bebas yang mengabdi pada logika kapital global. Dalam kerangka Marxis, negeri ini tak lain hanyalah satelit yang mengorbit pada pusat-pusat kekuasaan modal internasional tanpa arah, tanpa kendali sejati.
Alih-alih membangun kemandirian ekonomi, negara justru sibuk merangkai karpet merah bagi korporasi besar dan importir yang punya koneksi dengan kursi kekuasaan. Sementara itu, pelaku manufaktur kecil dan menengah harus berjuang di arena yang tak adil, dihempas gelombang barang murah dari luar negeri tanpa perlindungan memadai.
Angka PMI Indonesia pada Agustus 2024 sebesar 48,9, turun dari bulan sebelumnya yang sudah terpuruk di 49,3 hanya mengkonfirmasi apa yang telah lama dirasakan para pekerja. Output turun, pesanan baru menghilang, dan buruh dipangkas seolah angka-angka itu tak menyimpan nyawa. Paul Smith dari S&P Global menyebut pemutusan hubungan kerja ini sebagai “sementara”, tapi bagi mereka yang kehilangan pekerjaan, setiap hari tanpa upah adalah selamanya.
Kapitalisme global, sebagaimana ditulis dalam Deklarasi Ekososialis Belem, bukan hanya sistem yang eksploitatif, tapi juga destruktif. Ia melumat bumi dan manusia demi laba. Maka kebijakan impor bukanlah solusi, melainkan instrumen penghancur. Negara membuka keran pasar luar bukan karena tak ada pilihan, melainkan karena tunduk pada hukum besi pasar global.
Sementara buruh dirumahkan dan upah lembur lenyap, para importir besar dan konglomerat dengan jejaring dagang lintas negara menikmati margin keuntungan dari selisih harga barang asing. Mereka yang mengendalikan sektor energi, kehutanan, pulp & paper, serta agribisnis, juga menguasai rantai pasok industri, termasuk impor mesin dan bahan baku. Menurut berbagai laporan industri, nilai impornya mencapai ratusan miliar rupiah tiap tahun angka yang kontras dengan derita sektor manufaktur lokal yang dibiarkan tenggelam tanpa perlindungan.
Ekososialisme menolak mitos pertumbuhan tanpa batas. Ia menawarkan arah yang berbeda: sebuah dunia di mana produksi tak ditentukan oleh laba, melainkan oleh kebutuhan sosial dan keberlanjutan ekologis. Dalam dunia semacam itu, buruh bukan sekadar korban, tetapi subjek perubahan. Mereka bukan hanya tangan yang menggerakkan mesin, tapi juga pikiran dan hati yang bisa merancang masa depan bersama.
Krisis ini paling keras memukul mereka yang berada di dasar rantai produksi. Data Kemnaker menunjukkan 42.863 buruh kehilangan pekerjaan hanya dalam tujuh bulan pertama tahun 2024 angka yang jauh lebih nyata daripada proyeksi apapun. Mereka bukan angka, mereka adalah wajah, keluarga, dan harapan yang runtuh satu demi satu.
Namun negara tampaknya memilih berpaling. UU Cipta Kerja dan berbagai kebijakan pro-deregulasi hanya mempertebal jurang antara kelas pekerja dan elite pemilik modal. Di saat pabrik tutup, yang diselamatkan bukan pekerjanya, melainkan pemiliknya. Ketika krisis datang, yang dirangkul bukan yang terdampak, melainkan yang paling besar kontribusinya pada neraca laba.
Siapa yang untung dari semua ini? Jawabannya tak sulit ditebak. Mereka yang memiliki modal, kuasa, dan koneksi. Krisis, bagi kapitalisme, bukanlah kecelakaan. Ia adalah mekanisme penyaringan. Saat yang lemah tumbang, yang kuat tumbuh semakin besar, mencengkeram perdagangan, energi, dan tanah.
Ekososialisme menawarkan jalan lain. Jalan yang tak hanya membongkar tatanan lama, tapi juga membangun yang baru berbasis komunitas, demokratis, dan ramah lingkungan. Produksi dikelola kolektif oleh buruh dan masyarakat. Energi dikembalikan ke publik, bukan diprivatisasi. Nilai guna menggantikan nilai tukar. Ekonomi dibentuk berdasarkan keseimbangan ekologis, bukan pertumbuhan rakus tanpa batas.
Platform Hijau Indonesia mendorong transisi ke arah ini. Ia menyerukan pembangunan industri hijau berskala lokal, mendorong koperasi pekerja, dan mengakui hak masyarakat adat serta perempuan sebagai kunci perubahan sosial. Karena, seperti diungkap Deklarasi Belem: “Perjuangan buruh tak bisa dipisahkan dari perjuangan lingkungan.”
PMI yang merosot bukan sekadar berita buruk ekonomi. Ia adalah nyala peringatan bahwa sistem ini telah gagal. Kini bukan waktunya menambal luka dengan subsidi atau pelatihan kerja palsu. Ini saatnya rakyat bangkit, mengambil kembali kendali atas produksi, atas bumi, dan atas masa depan mereka sendiri.
Penulis: Belfry (Anggota Partai Hijau Indonesia)