kabarphi.com – Kemenangan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka dalam pemilihan umum Presiden 2024 adalah tamparan yang menyadarkan kita tentang realitas sosial-politik masyarakat Indonesia hari ini. Pasangan calon dengan rekam jejak paling hitam justru menjadi pasangan calon dengan perolehan suara paling banyak dan menang hanya dalam satu putaran.
Kenyataan bahwa lebih dari setengah suara sah justru diberikan kepada mereka menjadi bukti bahwa kesadaran soal ancaman kemunduran demokrasi ketika Prabowo Subianto menjadi Presiden belum sepenuhnya sampai ke akar rumput. Berbagai upaya penyadaran yang dilakukan kepada masyarakat ternyata belum memberikan hasil yang baik.
Namun, penyesalan akibat gagal membangun kesadaran kepada masyarakat adalah hal yang tidak perlu. Apa yang harus dilakukan selama lima tahun ke depan justru lebih penting untuk dirumuskan. Walaupun belum memberikan hasil baik, berbagai upaya penyadaran yang dilakukan kepada masyarakat sebenarnya sudah termasuk luar biasa.
Kerja aktivisme, profesional atau tidak, adalah pekerjaan yang sulit. Reduksi terhadap kebebasan politik bagi masyarakat lewat kebijakan asas tunggal, pelarangan ideologi kiri, serta pembatasan kebebasan bersuara yang dilakukan oleh Orde Baru menjadi titik mula. Berbagai kebijakan itu membuat masyarakat tidak memiliki alternatif narasi selain menganggap pemerintah adalah “bapak”.
Warisan dari masa itu menciptakan masyarakat yang tidak mampu berpikir dengan runut dan terstruktur karena negara menjadi sumber pengetahuan. Golongan Karya (Golkar) yang dominan di masa Orde Baru justru lebih condong mengambil peran “membantu” negara dibanding “mendobrak”-nya. Padahal, di masa awal kemerdekaan, Indonesia sudah lebih dahulu mengenal demokrasi liberal.
Saat itu, suasana politik jauh lebih demokratis dengan variasi ideologi dan pemikiran yang banyak. Perdebatan antar individu atau kelompok dalam soal ideologi dan pemikiran hidup dan tumbuh dengan subur. Tetapi semua secara perlahan meredup bersama dengan kenaikan Orde Baru. Oleh karena itu, jika sekarang kita masih bisa memobilisasi massa, itu sudah bisa dianggap sebagai pencapaian.
Kondisi seperti hari ini juga yang kemudian membuat gerakan sosial di Indonesia menjadi sulit untuk diprediksikan menggunakan berbagai paradigma dominan dalam gerakan sosial. Jika perubahan sosial butuh fenomena pemicu seperti Tunisia sebelas tahun yang lalu, lantas bagaimana menjelaskan pihak yang masih menormalisasi tragedi Kanjuruhan?
Pendekatan lain juga menyatakan bahwa demokrasi Indonesia “kurang rusak” seperti Thailand atau Myanmar, sehingga masyarakat masih santai. Tetapi, jika melihat tren hari ini, sepertinya akan makin banyak orang yang mendukung Presiden Joko Widodo untuk menambah masa jabatan hingga tiga periode, atau dukungan terhadap ketiadaan partai oposisi di parlemen.
Ada dua faktor yang punya potensi membuat dua hal itu menjadi kenyataan. Pertama, gerakan yang ada di Indonesia masih didorong oleh perjuangan yang bersifat naratif dan belum nampak jelas di depan mata. Tidak jelas siapa “sosok” yang dilawan. Tidak ada sosok seperti monarki di Thailand, atau junta militer di Myanmar. Hal itu diperlukan untuk meyakinkan masyarakat bahwa kondisi sedang tidak baik-baik saja.
Kedua, banyak hal yang perlu kita dekonstruksi: Feminisme tidak hanya sekedar angkat galon; korupsi tidak hanya sekedar calo; RKUHP tidak hanya sekedar pasal bermasalah. Mengingat pengetahuan kita telah dikolonisasi oleh Soeharto, maka tugas penting kita adalah mendekolonialisasi diri dari pengaruhnya. Aktivitas ini bukan lagi sekadar meningkatkan kesadaran, tetapi memproduksi pengetahuan baru.
Belajar dari pengalaman aktivisme di Amerika Latin (Zapatismo dan MST), ini merupakan proses pendidikan ulang yang membutuhkan belasan tahun jika bukan dekade. Proses ini melibatkan sikap apriori atas berbagai universal, mazhab politik-demokrasi tertentu, dan kearifan lokal, sehingga kita dapat melakukan produksi pengetahuan yang bersifat orisinal.
APA YANG MEMBEDAKAN?
Kampanye raising awareness sering digunakan oleh lembaga swadaya masyarakat, content creator, atau gerakan lain, untuk memberikan kesadaran hak serta gambaran bahwa negara sedang tidak baik-baik saja. Kampanye ini memang sudah cukup kreatif dan berhasil membuat konten yang relevan dan resonan dengan keresahan yang ada di masyarakat.
Sejauh pengamatan awam saya, kampanye ini lebih banyak fokus pada soal bagaimana suatu informasi dideskripsikan serta disebarluaskan. Kreativitas dan komunikasi menjadi dua komponen penting. Namun, yang perlu disadari adalah kita, sedikit atau banyak, masih belum menggunakan bahasa yang sama dengan masyarakat menjadi pihak yang menjadi target.
Aktivis mungkin menggunakan terminologi HAM, Marxisme atau isme-isme yang lain dalam membahas keadilan, sedangkan masyarakat tertentu menggunakan prinsip agama dalam membahas isu yang sama—tidak ada yang salah dalam kedua hal tersebut. Maksud saya adalah tidak selalu ada sumber tunggal dalam membahas isu kesejahteraan, keadilan, atau isu lain.
Konsep HAM, sebagaimana yang tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), serta Hak Sipil dan Politik, atau dalam berbagai piagam PBB yang lain, bukan menjadi satu-satunya kerangka dalam membahas isu kesejahteraan, keadilan, atau isu lain. Perlu diingat bahwa bahwa konsep HAM bukan sesuatu yang universal, tetapi, dapat dibahasakan dengan konteks dan pengetahuan lokal.
Menurut ICCPR, pemerintah mempunyai tanggung jawab. Menurut Islam, penguasa tidak boleh dzalim. Namun, jangan disalahartikan bahwa ini hanyalah permasalahan redaksional—bagaimana kita menggunakan kata yang mudah dipahami segala kalangan masyarakat. Proses produksi pengetahuan baru berusaha mengapriorisasi nilai eksternal dan mengkontekstualisasikannya dengan budaya dan kearifan lokal.
Hasil dari apriorisasi tersebut adalah munculnya konsep baru untuk menjelaskan keseharian dan keresahan yang dialami oleh masyarakat dengan lebih relevan. Selayaknya teori, pengetahuan baru akan membantu kita mendeskripsikan, memprediksi, menjelaskan berbagai fenomena sosial yang ada. Pengetahuan baru akan membantu kita dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat.
Di Kamboja melalui sombath somphone, pengetahuan lokal yang memberikan arahan untuk pertanian. Begitu juga dengan konsep agroecology yang diterapkan di berbagai negara Amerika Latin. Pengetahuan baru juga merupakan sebuah budaya sosial-politik—tentang bagaimana organisasi dan perekonomian diatur. Bagaimana masyarakat yang ideal harus dan dapat tercapai serta bagaimana norma berlaku.
BAGAIMANA PENGETAHUAN DAPAT DIPRODUKSI?
Saya tidak tahu banyak soal berbagai budaya di Indonesia, atau istilah berbasis etnis sebelum kita memasuki era Soeharto. Dari beberapa pembacaan, saya mungkin berasumsi bahwa sebelum Orde Baru sudah ada ekspresi orientasi seksual yang beragam. Musyawarah dan mufakat mungkin lebih dari sekadar konsultasi dan mendengarkan arahan pemimpin selayaknya yang diajarkan di buku pelajaran PKN.
Mungkin juga warga sudah membenci korupsi sejak sebelum era kolonial, meski saat itu kata yang dipakai bukan korupsi. Kemudian, di satu sisi, mungkin saat ini, masyarakat akan mendukung RKUHP karena mengandung pasal anti pornografi—karena dianggap sesuai dengan norma ketimuran. Tetapi, yang menjadi permasalahan adalah apakah justru pengetahuan yang kita miliki hari ini dipengaruhi oleh otoritarianisme Orde Baru?
Sehingga, mungkin sebelumnya kita tidak benci LGBT, dan kebencian itu muncul akibat narasi anti LGBT oleh Orde Baru. Poinnya adalah, mungkin masyarakat kita sudah mengenal liberalisme sebelum istilah itu sendiri muncul. Tentu, dengan bahasa, istilah, atau praktik masing-masing. Ini semestinya bisa menjadi “sisi universal” dalam membahas isu keadilan dan kesejahteraan.
Menjadi pintu utama untuk membangun narasi konsep HAM atau demokrasi melalui istilah lokal. Selanjutnya, pengetahuan juga dapat diproduksi melalui berbagai keresahan yang dialami oleh masyarakat itu sendiri. Sebetulnya, kita tidak perlu Marxisme untuk membuktikan bahwa hidup kita sengsara. Pengalaman masyarakat adalah teori dan konsep itu sendiri.
Melalui keresahan itu, masyarakat memiliki imajinasi atas hidup yang tidak sengsara. Seperti apa hidup yang adil, dan apa itu kemakmuran. Dari hal yang bersifat keseharian, menarik untuk diketahui bagaimana sebetulnya masyarakat membicarakan kondisi kekinian, seperti korupsi, penangkapan semena-mena oleh polisi, atau apa pengetahuan lokal kita atas demokrasi.
Kita semua membenci korupsi, tapi perlu ada upaya untuk mengkonsepkannya menjadi pengetahuan. Sebagai contoh: Ketika bir yang menjadi keseharian warga Thailand terancam monopoli perusahaan bir sehingga produksi bir lokal yang sarat dengan identitas mereka sulit dilakukan, masyarakat Thailand belajar mengkonsepkan keadilan dan anti kapitalisme.
Belakangan, saya datang ke demonstrasi aktivis Myanmar dan mendengar kata-kata seperti “demokrasi” terdapat dalam nyanyian mereka. Di Amerika Latin, Zapatismo dan MST menggabungkan teologi pembebasan, Marxisme, dan pengetahuan lokal untuk membentuk konsep demokrasi partisipatif. Bagaimana dengan di Indonesia?
Mungkin kita bicara soal masalah sehari-hari di warkop? Atau keadilan adalah persoalan pertanian dan perairan? Atau adakah identitas dan pengetahuan lokal yang akan membantu kita memahami keadilan dan kemakmuran atau HAM itu sendiri? Pelajaran yang dapat diambil dari pengalaman tersebut adalah konsep keadilan lahir dari pengalaman, perasaan termarginalisasi, teropresi, dan realita masyarakat.
Human rights is not the only game in town, dan yang terpenting, ada medium, identitas atau simbol yang menunjukan bahwa sebuah keadilan telah dilanggar atau merepresentasikan makna tertentu. Lantas, bagaimana posisi HAM, Marxisme, dan pengetahuan eksternal lainnya? Pengetahuan tersebut masih sangat berguna sebagai referensi, motivasi, dan salah satu pintu untuk membahas suatu isu.
Tanpa pandangan HAM, mungkin kita tidak sadar bahwa polisi tidak boleh brutal. Tanpa Marxisme, mungkin kita akan terjebak di gerakan apolitis. Referensi yang dapat diberikan pengetahuan eksternal berupa identifikasi atas apa yang seharusnya diterima warga, apa saja tanggung jawab negara, dan berbagai upaya yang dapat dilakukan.
Di Indonesia pasca-reformasi, sudah banyak usaha yang dilakukan untuk memproduksi pengetahuan baru melalui apriorisasi berbagai konsep internasional. Bisa kita lihat bagaimana kita menyebut oligarki sebagai pangkal permasalahan, sebutan Lord Luhut, sindiran terhadap polisi, itu adalah bentuk pengetahuan yang secara tidak sadar telah kita produksi.
Dalam riset yang saya lakukan, lembaga non-pemerintah juga perlu secara aktif melakukan pendidikan politik untuk mereproduksi konsep korupsi yang sesuai dengan situasi lokal. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan membawa studi kasus daerah, mendiskusikan dengan tema dari daerah lain, analisa menggunakan konsep luar dan diintegrasikan dengan konteks lokal.
Hasilnya adalah munculnya berbagai bahasa untuk menjelaskan korupsi: makan duit, kongkalikong, korupsi adalah haram.
PENUTUP
Masyarakat lokal sangat mungkin lebih paham dibanding kita ketika membicarakan isu keadilan atau kesejahteraan. Belakangan saya kembali menonton Sexy Killers dan melihat bagaimana petani dan nelayan tergerak untuk melawan penguasa karena lahan tani, yang menjadi realita dan identitas mereka terancam. Hal ini kian menunjukan bahwa mereka tidak butuh HAM atau demokrasi atau isme-isme lain dalam memahami keadilan.
Pengetahuan lokal membuat gerakan mereka lebih mandiri sehingga tidak membutuhkan lagi raising awareness. Reproduksi pengetahuan dan pembentukan gerakan sosial juga hanya dapat terjadi apabila anggota gerakan memiliki kemampuan untuk mendengarkan. Sebagai aktivis yang berbasis di kota dengan berbagai pengalaman dan edukasi HAM, pemahaman yang kita miliki akan jelas berbeda dibandingkan apa yang sesungguhnya dialami masyarakat.***