Oleh: Andi Alan Nuari
Kader Partai Hijau Indonesia, Sulawesi Selatan
Tak ada kado yang lebih jujur untuk seorang kepala daerah selain kritik dari rakyat yang terluka. Maka pada ulang tahun Gubernur Sulawesi Barat, Suhardi Duka, yang ke-63, ribuan warga dari Kalukku, Karossa, dan Sarasa memberikan hadiah terbaik: tuntutan untuk menghentikan perampasan ruang hidup mereka oleh tambang.
Di antara kawat berduri, aparat bersenjata, dan janji yang dilontarkan setengah hati, rakyat Sulbar menyuarakan satu akronim yang menggetarkan yaitu SDK (Sudahi Derita Kami).
Saya menulis ini bukan semata sebagai pengamat, tapi sebagai kader Partai Hijau Indonesia. Kami, yang berpijak pada prinsip ekososialisme, percaya bahwa krisis ekologis tidak bisa dipisahkan dari ketimpangan sosial. Maka ketika tambang pasir mengancam pesisir Karossa dan Silaja, kami melihatnya bukan hanya sebagai bencana lingkungan, tapi sebagai bentuk penindasan terhadap kelas pekerja nelayan, petani, dan masyarakat adat yang sejak awal dikorbankan atas nama investasi.
Aliansi masyarakat telah turun ke jalan. Mereka menuntut pencabutan izin tambang PT. ASR yang sejak awal cacat legal-formal. Mereka menuntut moratorium izin baru hingga ada pertemuan tripartit. Tapi bagaimana respons negara? Represif, birokratis, dan sinis. Janji pertemuan yang ditawarkan hanya menghasilkan konferensi pers yang tak memadai dan itu pun dilakukan dengan tergesa, seolah suara rakyat tak penting dibandingkan jadwal perayaan ulang tahun gubernur.
Ini bukan sekadar ironi, ini cermin nyata dari bagaimana kekuasaan politik kita berselingkuh dengan kekuasaan modal. Di dalam Deklarasi Ekososialis Belem (2009), kami telah menegaskan bahwa perjuangan ekososialis adalah perjuangan melawan kehancuran planet dan ketidakadilan sosial yang berjalan beriringan.
Kami menolak sistem ekonomi yang menjadikan alam sebagai komoditas dan manusia sebagai objek eksploitasi. Dalam kasus Sulbar, jelas terlihat bahwa pesisir bukan sekadar wilayah eksplorasi, melainkan ruang hidup yang diwariskan lintas generasi.
Kami percaya bahwa perubahan iklim, kerusakan ekologi, dan kemiskinan struktural tak bisa diselesaikan hanya dengan kebijakan teknokratik atau proyek ramah lingkungan yang dibungkus CSR. Perlu perubahan mendasar: demokratisasi ekonomi, kendali rakyat atas sumber daya alam, dan transformasi cara kita hidup, bekerja, dan memproduksi. Inilah makna dari ekososialisme jalan ketiga yang menolak kapitalisme perusak dan sosialisme otoriter yang membungkam.
Hari ini, rakyat Sulbar telah menyuarakan fiat justitia ruat caelum keadilan harus ditegakkan walau langit runtuh. Bila negara menutup telinga, jika lembaga hukum tunduk pada modal, maka biarlah rakyat yang menjadi hakim dan sejarah yang mencatat.
Bagi kami, perjuangan ini bukan hanya soal tambang di Karossa. Ini adalah bab dari narasi panjang, tentang pertarungan antara oligarki dan kehidupan, antara bumi yang sakit dan mereka yang masih berani menyembuhkannya. Kami berdiri bersama rakyat pesisir, karena kami tahu: ketika terakhir kali alam dibungkam, yang terdengar hanyalah gemuruh amarahnya.