kabarphi.com – Artikel ini mengulas aspek ekonomi politik dari perkembangan kebijakan di Indonesia terkait industri kendaraan listrik (EV) dan rantai pasoknya, termasuk pertambangan dan pengolahan nikel. Dalam artikel ini, penulis berargumen bahwa agenda pembangunan berkelanjutan dan transisi energi telah menjadi wadah re-organisasi kekuatan modal industri ekstraktif domestik dengan dukungan dari negara. Secara spesifik, penulis mencoba menempatkan fenomena pergeseran investasi pengusaha ekstraktif domestik dalam konsep “spatial-fix” oleh David Harvey, yang menjelaskan usaha kapitalisme untuk mengatasi kecenderungan krisis internalnya (over-akumulasi) melalui ekspansi dan restrukturisasi modal secara geografis.
Melalui konsep tersebut, penulis memandang bahwa investasi pada industri nikel dan produk turunannya sampai ke EV, yang dibutuhkan dalam transisi energi, menyediakan jalan keluar bagi krisis over-akumulasi pengusaha ekstraktif domestik yang sebelumnya bermain di sektor pertambangan batubara dan PLTU. Jenuhnya investasi di pertambangan batubara mendorong pengusaha batubara untuk masuk ke sektor pembangkitan listrik (batubara) di periode 2010-an. Hingga saat ini, sektor pembangkitan listrik juga telah mengalami kelebihan investasi dan memaksa konglomerasi ekstraktif ini untuk menemukan saluran investasi baru. Di saat investasi di energi terbarukan masih belum cukup atraktif, minat global untuk berinvestasi pada rantai pasok EV serta ketersediaan sumber daya domestik dalam bentuk nikel, telah membuka jalan alternatif bagi reorganisasi modal para pengusaha ekstraktif domestik ini.
Gagasan nasionalisme sumber daya, yang telah menjadi jiwa dalam penyusunan kebijakan pengelolaan sumber daya di Indonesia sejak kejatuhan Orde Baru, memberikan landasan bagi negara untuk memberikan dukungan pada pengembangan industri kendaraan listrik dan industri nikel domestik. Karakter nasionalisme ini ditandai dengan dua aturan utama: kewajiban perusahaan asing untuk melepas 51% sahamnya ke perusahaan domestik dan penetapan pelarangan atau hambatan dalam ekspor mineral mentah. Penulis menilai bahwa kombinasi dari dorongan pembangunan hijau dengan ideologi nasionalisme sumber daya ini, telah memungkinkan terjadinya reorganisasi kekuatan modal industri ekstraktif domestik ke dalam industri EV dan nikel.
Artikel ini juga menjelaskan bagaimana pemerintah secara selektif memberikan insentif yang memprioritaskan perusahaan, baik domestik maupun asing, yang berkomitmen pada pemenuhan agenda nasionalisme sumber daya, seperti kepatuhan pada persyaratan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Kebijakan ini membuat perusahaan asing membutuhkan kerja sama dengan BUMN maupun pengusaha lokal. Melalui pemberian berbagai insentif dan komitmen politik untuk mendorong industri EV dan nikel di dalam negeri, negara mengalokasikan sumber daya publik untuk menanggung risiko bisnis dari investasi EV dan nikel. Narasi pembangunan berkelanjutan dan nasionalisme sumber daya memberikan cap legitimasi bagi tindakan tersebut.
Artikel ini mengidentifikasi pihak-pihak yang menjadi pihak yang “menang” dan “kalah” dalam kolaborasi agenda pembangunan berkelanjutan dan ideologi nasionalisme sumber daya ini. Pihak yang menang disebutkan adalah perusahaan asing pendatang baru asal Tiongkok dan Korea yang berinvestasi di industri nikel dan EV; pengusaha ekstraktif (dan batubara) domestik yang mendapat saluran investasi baru sekaligus sarana “penghapusan dosa”, lalu BUMN energi dan ekstraktif dalam bentuk konsorsium Indonesia Battery Corporation yang akan mendominasi rantai pasok baterai domestik, dan elit politik yang mendapat legitimasi politik melalui kebijakan yang popular dengan dalih pembangunan berkelanjutan dan nasionalisme sumber daya. Di sisi lain, pihak “kalah” yang diidentifikasi mencakup perusahaan ekstraktif multinasional barat yang terlanjur melepaskan saham-sahamnya ke pengusaha domestik pada periode nasionalisasi di akhir 2010an; pabrikan otomotif Jepang yang lambat mengadopsi teknologi kendaraan listrik; serta komunitas lokal, aktivis, dan NGO yang terdampak oleh aktivitas pertambangan dan pengolahan nikel.
Artikel ini memberikan perspektif yang menarik dalam menganalisis fenomena pemberian insentif besar-besaran untuk industri rantai pasok kendaraan listrik dan nikel dalam 5 tahun terakhir. Tidak berhenti di tuduhan greenwashing, perusahaan ekstraktif, atau kooptasi kebijakan lingkungan oleh oligarki, artikel ini menarik persoalan lebih jauh ke krisis over-akumulasi yang menjadi karakteristik kapitalisme. Kebijakan mendorong investasi di rantai pasok EV dan nikel ini merupakan usaha untuk mengatasi krisis over-akumulasi modal di sektor pertambangan batubara dan pembangkitan listrik yang terjadi pada dekade sebelumnya. Menariknya, kebijakan ini dapat dikemas secara populis sehingga meningkatkan legitimasinya di hadapan masyarakat dengan dalih pembangunan berkelanjutan dan nasionalisme. Padahal, pada akhirnya, kebijakan ini dinilai hanya memenangkan pemain-pemain domestik lama di dalam ekonomi politik Indonesia, sedangkan masyarakat umum malah menjadi pihak yang “kalah”. Hal lain yang menarik, penulis juga memberikan penekanan pada agensi dan kepentingan politisi nasional dalam mengorkestrasi reorganisasi modal ekstraktif ini. Politisi dinilai memiliki kepentingannya sendiri untuk memperoleh legitimasi dari masyarakat, alih-alih menjadi pihak yang disandera oleh kepentingan kapital.
Namun, sebagai sebuah spatial fix, “EV-fix” ini hanya mampu mengatasi krisis over-akumulasi secara sementara dan krisis berikutnya diyakini akan kembali muncul. PHI perlu lebih berhati-hati dan jeli dalam melihat akar masalah dalam perumusan kebijakan, sehingga tidak lagi terjebak pada solusi-solusi serupa yang sifatnya hanya sementara. Selain itu, penting juga untuk memikirkan bagaimana kebijakan seharusnya dapat menunggangi krisis kapitalisme untuk kemudian memenangkan pihak-pihak yang selama ini lebih sering kalah, yaitu komunitas lokal dan aktivis.***
Judul artikel: An EV-fix for Indonesia: the green development-resource nationalist nexus
Penulis: Trissia Wijaya & Lian Sinclair
Publikasi: Jurnal Environmental Politics
Tahun: 2024
Penulis Resensi: Julius Christian