kabarphi.com – Kutipan di prolog buku membuka ruang yang lantas menghubungkan pemikiran feminisme dengan permasalahan lingkungan hidup. Buku ini merupakan kumpulan esai 30 orang kontributor yang tersebar dari Timur hingga Barat Indonesia. Ke-30 penulis esai tersebut adalah alumni sekolah literasi ekofeminis yang digagas Tim Kerja Perempuan dan Tambang serta kolektif RuangBacaPuan. Mereka merupakan alumni dari dua kelas Sekolah Literasi Ekofeminis pada tahun 2021, kelas Musim Hujan dan Kelas Tuarang.
Kumpulan esai di buku ini adalah tugas akhir di kelas Literasi Ekofeminis yang penulisannya didasari pengamatan dan/ atau keterlibatan para penulis dengan kasus atau fenomena yang mereka pilih dalam topik esainya. Masing-masing esai diwarnai latar belakang penulis, sehingga membaca esai-esai ini serasa bercakap, dan pembaca kemudian bertemu dengan bermacam kedalaman, keluasan bahasan dan cara bertutur.
Sebut saja perjuangan ibu rumah tangga dengan kerja-kerja domestiknya sebagai unpaid labor seperti dikisahkan Indah Rahmasari dalam esainya Di Balik Cerita Tunggal Kesejahteraan. Indah dengan lugas mempertanyakan standar kesejahteraan versi ekonomi kapitalis, marjinalisasi perannya sebagai ibu rumah tangga yang memberikan kerja perawatan tak berbayar, dan tarikan perilaku serakah dan konsumtif yang mengabaikan relasi manusia dan alam.
Masih di jalur perilaku konsumtif dan desakan pasar dalam sistem ekonomi kapitalis, ada keprihatinan atas kosmetik yang meracuni tubuh perempuan yang disuarakan Nur Alifah. Dia menyoroti perjalanan seorang Elok yang terjebak memakai kosmetik beracun karena mengikuti standar cantik seperti di iklan produk kecantikan. Cantik yang berbahaya bagi Elok itu, tak jarang juga berbahaya bagi ragam spesies di alam, ketika industri kosmetik menggunakan bahan baku yang mengeksploitasi lingkungan.
Kemudian, ada Vieronica yang menuturkan eksistensi Nasi Aking dan Boenthelan. Berapa banyak dari kita yang masih bertemu dengan nasi aking, nasi sisa yang dijemur hingga kering? Atau dengan boenthelan, kain segiempat yang diikat dan dipertemukan sudutnya sebagai pengganti pembungkus sekali pakai? Dan bahwa ternyata membuat nasi aking dan menggunakan boenthelan adalah bentuk upaya melawan krisis lingkungan.
Ada pula tulisan yang menjadi percik semangat. Tri Octaviani bertutur tentang subsistensi ibu menyusui di tengah terbatasnya akses pada kecukupan gizi di sebuah desa di Kalimantan Tengah. Ada juga semangat para peracik jamu gendhong di Desa Kiringan, Yogyakarta yang masih mempertahankan resep jamu warisan sebagai upaya merawat alam, tradisi dan kesehatan.
Pembaca juga bisa menyimak cerita dekolonisasi pengetahuan ala Rezha Rizqy yang menceritakan pengetahuan Mbah Utinya dalam meracik jamu untuk berbagai penyakit. Rezha menyebut dekolonisasi pengetahuan dalam konteks terpinggirkannya pengetahuan nenek moyang dan upaya menuliskan pengetahuan warisan seperti dalam buku Ramuan Nenek oleh Erni Aladjai. Rezha menggugat sains modern yang meminggirkan pengetahuan lokal yang bersumber dari alam dan petuah nenek moyang.
Tak sebatas itu, ada wacana pertaruhan eksistensi multispecies di tapak proyek strategis nasional Food Estate. Ini diurai oleh Belgis dalam esai Pertanian Skala Besar: Keserakahan Manusia vs Alam. Belgis merinci ancaman pada ekosistem gambut yang telah dua kali disasar proyek serupa. Akhir esainya Belgis menyitir pepatah “Keledai saja tak jatuh di lubang yang sama sampai dua kali”.
Lebih lanjut, kelindan identitas masyarakat adat dan modernitas warisan kolonial diceritakan Linda Tagie. Linda membagi pengalaman penghayat kepercayaan Jingitiu di Pulau Hawu. Para penghayat Jingitiu yang mendapat cap kafir sejak jaman kolonial, padahal Jingitiu sangat ramah pada perempuan dan menciptakan penyokong sosial yang solid untuk ibu tunggal. Alih-alih menstigma perempuan yang memiliki anak tapi tidak bersedia menikah, Jingitiu memberikan daulat penuh pada ibunya, sehingga anak bisa menggunakan nama ibu sebagai nama belakangnya. Anak yang lahir di luar nikah disebut ana pa kepue, atau anak pohon. Ini mencerminkan filosofi ketangguhan, layaknya pohon yang terus hidup dan bertumbuh selama masih ada tanah dan air.
Ringkas kata, buku ini merangkum cerita-cerita orang-orang biasa yang memantik perlawanan, mengorganisir komunitas bahkan memandu perubahan. Para penulis esai di buku ini menemukannya di sekitar mereka, di komunitas yang mereka dampingi, bahkan di lingkar terdekatnya. Buku ini menyumbang ragam perspektif di cakrawala pemikiran ekofeminis di Indonesia. Ragam kisah biasa yang sebagian taken for granted, membentang dan menyuguhkan sisi lainnya, perlawanan! Bisa jadi para pejuang ini juga ada di antara kita, atau adakah jiwa juang itu di dalam diri kita?***
Judul: Tidak Ada Cerita Tunggal: Esai-esai Ekofeminis Tanah Air
Penulis: Ananda Nabilah, dkk.
Editor: Siti Maimunah
Penerbit: Interlude
Tahun terbit: 2024
Tebal buku: xix+335 hal
ISBN: 978-623-8275-35-9
Penulis Resensi : Taibah Istiqamah